TELUSURI

Rabu, 09 Januari 2013

UN (Ujian Nasional) BAGAIKAN DEBT COLLECTOR PENDIDIKAN…..!

Sejak beberapa pekan ini pikiran saya selalu diusik dengan sebuah nama profesi yaitu “debt collector”. “Ya, satu profesi itu selalu menjadi fokus perhatian dalam benak kepala saya, dan sepertinya ada sesuatu yang manarik dari profesi yang satu ini, profesi yang biasanya digunakan lembaga perbankan. Bukan karena saya ingin menjadi debt collector atau karena saya punya hutang di suatu bank. Menjadi debt collector sepertinya bukan sesuatu yang profesi yang bisa membuat hidup saya tenang, dan untuk permasalah tonggakan hutang di slah satu bank saya yakin tidak ada permasalah karena card credit saja saya tidak punya.
Mendengar nama debt collector tentu kita tidak asing lagi dan pikiran kita akan langsung menggambarkan sebagai penagih hutang yang kekar dan sedikit menakutkan. Mungkin semua itu sudah jadi syarat untuk menjadi debt collector, untuk menunjang kemudahan dalam menjalankan tugasnya. Dan mungkin itu salah satu metode bank agar nasabah mau melunasi tunggakan mereka, tidak jarang debt collector melakukan tindakan-tindakan diluar kemanusiaan.
Perlahan kita akan mulai mengingat-ingat tentang keluhan beberapa nasabah bank tentang tindakan debt collector baik secara kekerasan psikis maupun kekeran fisik hingga beberapa merenggut nyawa (salah satu korban meninggal Irzen Octa sekjen PPB pada tahun 2011). Sehingga apa yang dianggap sebagai system yang dapat memudahkan dan memperlancar kegiatan dalam hidup malah menjadi bencana yang sangat tidak diharapkan.
Tetapi yang membuat kita miris lagi bukan gaya debt collector yang kejam dalam penagihan hutang nasabah bank yang macet atau metode-metode pengancaman yang dilakukan debt collector dalam penagihan. Bukan juga membahas tentang apa yang dilakukan debt collector terhadap nasabah bank yang macet dalam pembayaran card credit dan berapa korbannya. Tentu juga bukan membahas tentang bagaimana Irzen Octa dulu bisa meninggal dunia di tangan debt collector. Kita akan membahas system pendidikan yang diharapkan membentuk generasi baru yang lebih baik dan tentang dampak negatif dari UN terhadap mental dan psikis siswa.
UN hendaknya sebagai alat untuk menilai tingkat prestasi pendidikan nasional dan sebagai pemetaan pendidikan dengan menentukan (a) seberapa baik siswa belajar dalam sistem pendidikan sekarang (dengan mengacu pada harapan umum, tujuan dari kurikulum, dan persiapan untuk belajar lebih lanjut dan seumur hidup), (b) mengetahui bukti kekuatan dan kelemahan tertentu dalam pengetahuan dan keterampilan siswa, (c) mengetahui bagian kelompok tertentu dalam populasi berkinerja buruk, (d) mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan prestasi siswa, (e) mengetahui apakah standar pemerintah terpenuhi dalam penyedian sumber daya, dan (f) mengetahui tingkat perubahan prestasi siswa seiring waktu (Greaney dan Kellaghan 2008).
Tetapi di Indonesia UN adalah tampaknya sesuatu yang sangat menakutkan, UN seakan-akan seperti debt collector bagi dunia pendidikan, guru terkhusus bagi siswa. Layaknya debt collector UN memberikan ancaman tersendiri bagi dunia pendidikan khususnya siswa. Dimana UN ini bagaikan ajang penagihan hutang dan siap melakukan apapun agar hutang itu dilunasi, dengan mengabaikan apakah itu menyebabkan pembodohan dan menjajah psikologi siswa.
Saya ingat pada massa saya di SMP, pada pengumuman hasil UN tahun priode 2003/2004 terdpat 4 orang siswa yang tidak lulus di SMP tempat saya sekolah. Dari kesemuaan yang tidak lulus 2 diantaranya mengikuti program paket B dan 2 orang lagi menyerah. Saya sangat ingat betapa terpukulnya orang tua dari siswa itu, tentu itu juga menjadi pukulan bagi siswa itu sendiri. Sehingga dengan adanya siswa tidak lulus itu tentu akan manjadi pukulan yang dapat melukai kejiwaan dan kepercayaan diri siswa generasi berikutnya.
Jadi tidak heran kalau banyaknya fenomena yang muncul menjelang UN, seperti siswa yang menangis atau bahkan kesurupan. Secara tidak sengajah UN telah membuat keterpurukan rohani dalam dunia pendidikan. Dengan begitu tidak diherankan kalau out comes dari pendidikan adalah perampok-perampok bangsa yang sedikit modern dengan perbeda cuma pada dasi (koruptor) dengan perampok yang lain, negara lebih mementingkan output dari pendidikan itu dibanding proses sehingga perhatian terhadap pembangunan nilai-nilai spiritual kejiwaan diabaikan. Pada tahun 2012 kemarin banyak pelajar pergi berdo’a ke makam mantan presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Mereka datang sembari berdoa. (Sumber http://www.hasmi.org, 16/4/2012).
Sisi negatif UN terhadap siswa pertama, mulai dari kecemasan mereka akan ketidaklulusan yang mereka alami. Jika mereka tidak lulus selain mereka harus mengulang tahun depan atau mengambil program paket, mereka akan mengalami tekanan psikis. Kedua,  stress out di mana mereka ditekan untuk belajar keras untuk menghadapi ujian nasional, lagi-lagi karena ancaman kelulusan maka mereka harus melakukan apapun untuk mendapatkan nilai yang maksimal dengan nilai standar kelulusan setiap tahun semakin naik. Ketiga, banyak mereka yang melakukan hal negatif ketika sebelum, sedang dan sesudah ujian nasional berlangsung, misalnya ketika sebelum ujian mereka membeli soal atau kunci jawaban kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, ketika ujian sedang berlangsung mereka mencontek, ketika sudah ujian ada yang mempertaruhkan nyawanya karena kecewa dan malu akan ketidaklulusan yang membuat dia dicemoohkan teman-temannya.
Dapat kita simpulkan ujian nasional menciptakan tekan psikis bagi para siswa, sehingga pendidikan akan menciptakan orang-orang dengan kejiwaaan labil dan cenderungan anarkis. Tentu kita belum lupa berita-berita  tentang bentrok antar pelajar, yang sampai-sampai merenggut nyawa.
Selain berdampak langsung kepada siswa (generasi muda) juga terdapat diskriminasi pendidikan, UN akan sangat memberatkan bagi sekolah yang terletak di daerah terpencil, daerah bencana, konflik regional, dan daerah miskin di mana kualitas pendidikan yang masih rendah dibanding daerah lain. Fasilitas pendidikan yang buruk, kualitas, kurangnya guru yang berkualitas telah mengakibatkan kesiapan miskin daerah akan melakukan ujian nasional.
UN memaksa banyak guru perlahan-lahan menganut paradigma praktis yang salah sehingga banyak guru terjebak dalam sudut pandang yang keliru. Paradigma yang menyebabkan banyak guru mengelurkan tenaga ekstra untuk persiapan UN dan mengabaikan proses pendidikan yang hakiki. Dilihat dari sudut pandang pengajar dan pendidik, kebanyakan guru sudah terjebak dalam sudut pandang sebagai pengajar, dimana mereka hanya berkewajiban mentransper ilmu pengetahuan saja.
Selain itu, untuk mempersiapka para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian, dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal yang dihadapi. “Ya”, saya ingat ketika saya duduk di kelas tiga SMP, pada saat jam tambahan pra-UN seorang guru berbicara bahwa selain perlu membaca dan memahami ada teknik lain dalam menjawab UN yaitu, pertama yakinkan bahwa soal yang pertama kamu jawab dengan benar, lalu untuk jawaban selanjutnya tarik secara ziczak. Pembelajaran dengan metode seperti diatas tentu tidak bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik yang biasa berubah-ubah, bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam memecahkan masalah tetapi sebaliknya pembelajar seperti ini akan menciptakan manusia yang penuh putus asa dan kemalasan.
Jelas pada tanggal 14 September 2009 keputusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdakwa dalam putusan tersebut adalah Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dianggap gagal memenuhi kebutuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di bidang pendidikan. Tuntutan dilakukan oleh Tim Advokasi untuk Ujian Nasional Korban (TEKUN) dan Forum Pendidikan, karena kelalaian memenuhi hak-hak warga.
Sehingga pendidikan hanya berfokus pada kemampuan kognitis semu semata, dengan mengesampingkan kemampuan psikomotor dan afektif pada siswa. Padahal ranah kognitis bukan faktor utama dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang.
Namun, sepertinya kepedulian pemerintah masih berkisar pada standar gengsi dan standar kebanggaan. UN akhirnya menjadi ajang unjuk gigi terhadap negara lain, sekaligus sebagai alasan pemerintah untuk terus menerus meningkatkan standar kelulusan UN yang hanya menbuat jebak baru bagi bangsa tercinta ini lebih lanjut. Kalau ada sebuah pertanyaan ini, pantaskah proses pendidikan yang bertahun di eksikusi oleh UN?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

RABIAL KANADA, DESA PERANGAI, KECAMATAN MERAPI SELATAN, KABUPATEN LAHAT, SUMSEL