Sejak
beberapa pekan ini pikiran saya selalu diusik dengan sebuah nama profesi yaitu
“debt collector”. “Ya, satu
profesi itu selalu menjadi fokus perhatian dalam benak kepala saya, dan
sepertinya ada sesuatu yang manarik dari profesi yang satu ini, profesi yang
biasanya digunakan lembaga perbankan. Bukan karena saya ingin menjadi debt collector atau karena saya punya
hutang di suatu bank. Menjadi debt
collector sepertinya bukan sesuatu yang profesi yang bisa membuat hidup saya
tenang, dan untuk permasalah tonggakan hutang di slah satu bank saya yakin
tidak ada permasalah karena card credit
saja saya tidak punya.
Mendengar
nama debt collector tentu kita tidak
asing lagi dan pikiran kita akan langsung menggambarkan sebagai penagih hutang
yang kekar dan sedikit menakutkan. Mungkin semua itu sudah jadi syarat untuk
menjadi debt collector, untuk
menunjang kemudahan dalam menjalankan tugasnya. Dan mungkin itu salah satu
metode bank agar nasabah mau melunasi tunggakan mereka, tidak jarang debt collector melakukan
tindakan-tindakan diluar kemanusiaan.
Perlahan
kita akan mulai mengingat-ingat tentang keluhan beberapa nasabah bank tentang tindakan
debt collector baik secara kekerasan
psikis maupun kekeran fisik hingga beberapa merenggut nyawa (salah satu korban
meninggal Irzen Octa sekjen PPB pada tahun 2011). Sehingga apa yang dianggap
sebagai system yang dapat memudahkan dan memperlancar kegiatan dalam hidup
malah menjadi bencana yang sangat tidak diharapkan.
Tetapi
yang membuat kita miris lagi bukan gaya debt
collector yang kejam dalam penagihan hutang nasabah bank yang macet atau
metode-metode pengancaman yang dilakukan debt
collector dalam penagihan. Bukan juga membahas tentang apa yang dilakukan debt collector terhadap nasabah bank
yang macet dalam pembayaran card credit
dan berapa korbannya. Tentu juga bukan membahas tentang bagaimana Irzen Octa dulu
bisa meninggal dunia di tangan debt
collector. Kita akan membahas system pendidikan yang diharapkan membentuk
generasi baru yang lebih baik dan tentang dampak negatif dari UN terhadap
mental dan psikis siswa.
UN
hendaknya sebagai alat untuk menilai tingkat prestasi pendidikan nasional dan
sebagai pemetaan pendidikan dengan menentukan (a) seberapa baik siswa belajar
dalam sistem pendidikan sekarang (dengan mengacu pada harapan umum, tujuan dari
kurikulum, dan persiapan untuk belajar lebih lanjut dan seumur hidup), (b)
mengetahui bukti kekuatan dan kelemahan tertentu dalam pengetahuan dan
keterampilan siswa, (c) mengetahui bagian kelompok tertentu dalam populasi
berkinerja buruk, (d) mengetahui faktor-faktor yang terkait dengan prestasi
siswa, (e) mengetahui apakah standar pemerintah terpenuhi dalam penyedian
sumber daya, dan (f) mengetahui tingkat perubahan prestasi siswa seiring waktu (Greaney dan Kellaghan
2008).
Tetapi
di Indonesia UN adalah tampaknya sesuatu yang sangat menakutkan, UN seakan-akan
seperti debt collector bagi dunia pendidikan, guru terkhusus bagi siswa. Layaknya
debt collector UN memberikan ancaman
tersendiri bagi dunia pendidikan khususnya siswa. Dimana UN ini bagaikan ajang
penagihan hutang dan siap melakukan apapun agar hutang itu dilunasi, dengan
mengabaikan apakah itu menyebabkan pembodohan dan menjajah psikologi siswa.
Saya
ingat pada massa saya di SMP, pada pengumuman hasil UN tahun priode 2003/2004 terdpat
4 orang siswa yang tidak lulus di SMP tempat saya sekolah. Dari kesemuaan yang
tidak lulus 2 diantaranya mengikuti program paket B dan 2 orang lagi menyerah.
Saya sangat ingat betapa terpukulnya orang tua dari siswa itu, tentu itu juga
menjadi pukulan bagi siswa itu sendiri. Sehingga dengan adanya siswa tidak
lulus itu tentu akan manjadi pukulan yang dapat melukai kejiwaan dan
kepercayaan diri siswa generasi berikutnya.
Jadi
tidak heran kalau banyaknya fenomena yang muncul menjelang UN, seperti siswa
yang menangis atau bahkan kesurupan. Secara tidak sengajah UN telah membuat
keterpurukan rohani dalam dunia pendidikan. Dengan begitu tidak diherankan
kalau out comes dari pendidikan adalah perampok-perampok bangsa yang sedikit
modern dengan perbeda cuma pada dasi (koruptor) dengan perampok yang lain,
negara lebih mementingkan output dari pendidikan itu dibanding proses sehingga
perhatian terhadap pembangunan nilai-nilai spiritual kejiwaan diabaikan. Pada
tahun 2012 kemarin banyak pelajar pergi berdo’a ke makam mantan presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Mereka datang
sembari berdoa. (Sumber http://www.hasmi.org,
Sisi negatif UN terhadap siswa pertama, mulai dari kecemasan mereka
akan ketidaklulusan yang mereka alami. Jika mereka tidak lulus selain mereka
harus mengulang tahun depan atau mengambil program paket, mereka akan mengalami
tekanan psikis. Kedua, stress out di mana mereka ditekan untuk
belajar keras untuk menghadapi ujian nasional, lagi-lagi karena ancaman
kelulusan maka mereka harus melakukan apapun untuk mendapatkan nilai yang maksimal
dengan nilai standar kelulusan setiap tahun semakin naik. Ketiga, banyak mereka yang melakukan hal negatif ketika sebelum,
sedang dan sesudah ujian nasional berlangsung, misalnya ketika sebelum ujian
mereka membeli soal atau kunci jawaban kepada pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab, ketika ujian sedang berlangsung mereka mencontek, ketika
sudah ujian ada yang mempertaruhkan nyawanya karena kecewa dan malu akan
ketidaklulusan yang membuat dia dicemoohkan teman-temannya.
Dapat
kita simpulkan ujian nasional menciptakan tekan psikis bagi para siswa,
sehingga pendidikan akan menciptakan orang-orang dengan kejiwaaan labil dan
cenderungan anarkis. Tentu kita belum lupa berita-berita tentang bentrok antar pelajar, yang
sampai-sampai merenggut nyawa.
Selain berdampak langsung kepada
siswa (generasi muda) juga terdapat diskriminasi pendidikan, UN akan sangat
memberatkan bagi sekolah yang terletak di daerah terpencil, daerah bencana,
konflik regional, dan daerah miskin di mana kualitas pendidikan yang masih
rendah dibanding daerah lain. Fasilitas pendidikan yang buruk, kualitas,
kurangnya guru yang berkualitas telah mengakibatkan kesiapan miskin daerah akan
melakukan ujian nasional.
UN
memaksa banyak guru perlahan-lahan menganut paradigma praktis yang salah
sehingga banyak guru terjebak dalam sudut pandang yang keliru. Paradigma yang
menyebabkan banyak guru mengelurkan tenaga ekstra untuk persiapan UN dan
mengabaikan proses pendidikan yang hakiki. Dilihat dari sudut pandang pengajar
dan pendidik, kebanyakan guru sudah terjebak dalam sudut pandang sebagai
pengajar, dimana mereka hanya berkewajiban mentransper ilmu pengetahuan saja.
Selain
itu, untuk mempersiapka para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN,
para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana para siswa
dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian.
Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian,
dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal yang dihadapi. “Ya”, saya
ingat ketika saya duduk di kelas tiga SMP, pada saat jam tambahan pra-UN
seorang guru berbicara bahwa selain perlu membaca dan memahami ada teknik lain
dalam menjawab UN yaitu, pertama yakinkan bahwa soal yang pertama kamu jawab
dengan benar, lalu untuk jawaban selanjutnya tarik secara ziczak. Pembelajaran
dengan metode seperti diatas tentu tidak bermakna, karena apa yang dipelajari
bersifat mekanistik yang biasa berubah-ubah, bukan pada penguasaan konsep yang
esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir
siswa dalam memecahkan masalah tetapi sebaliknya pembelajar seperti ini akan
menciptakan manusia yang penuh putus asa dan kemalasan.
Jelas pada tanggal 14 September 2009
keputusan Mahkamah Agung (MA) yang melarang Ujian Nasional yang diselenggarakan
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdakwa dalam putusan tersebut adalah Presiden,
Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) dianggap gagal memenuhi kebutuhan Hak Asasi Manusia (HAM) di
bidang pendidikan. Tuntutan dilakukan oleh Tim Advokasi untuk Ujian Nasional
Korban (TEKUN) dan Forum Pendidikan, karena kelalaian memenuhi hak-hak warga.
Sehingga
pendidikan hanya berfokus pada kemampuan kognitis semu semata, dengan
mengesampingkan kemampuan psikomotor dan afektif pada siswa. Padahal ranah
kognitis bukan faktor utama dalam menentukan keberhasilan hidup seseorang.
Namun,
sepertinya kepedulian pemerintah masih berkisar pada standar gengsi dan standar
kebanggaan. UN akhirnya menjadi ajang unjuk gigi terhadap negara lain, sekaligus
sebagai alasan pemerintah untuk terus menerus meningkatkan standar kelulusan UN
yang hanya menbuat jebak baru bagi bangsa tercinta ini lebih lanjut. Kalau ada
sebuah pertanyaan ini, pantaskah proses pendidikan yang bertahun di eksikusi
oleh UN?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar