By : Rabial Kanada
A. Latar Belakang
Sekolah merupakan
tempat di mana para siswa dapat belajar berbagai perihal kehidupan. Siswa di
sekolah mendapatkan pengajaran, bimbingan, dan pendidikan yang dilakukan
oleh para tenaga pendidik. Suatu sekolah tentu memiliki tujuan tertentu yang
sesuai visi dan misinya masing-masing selain untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Kemajuan pendidikan akan menompa kemajuan suatu bangsa. Karena itulah
pendidikan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan agar bisa
menghasilkan output yang bisa berguna bagi bangsa.
Akhir-akhir ini pendidikan
atau suatu lembaga dikatakan berhasil dan sukses dilihat dari mutu dan
prosesnya. Ketika mutu suatu lembaga sudah bagus maka tentu outpunya akan bagus
pula. Demikian juga proses dalam menjadikan siswa itu mampu menguasai apa yang
seharusnya dikuasai maka dapat pula dikatakan begus. Dari proses yang baik maka
kemungkina akan timbul hasil yang baik pula.
Jika kita perhatikan,
ada empat tipe sekolah dilihat dari mutu dan proses pendidikannya, yaitu;
Bad school adalah gambaran sekolah yang memiliki input baik namun proses
pendidikan dan outputnya tidak bermutu. Good school adalah sekolah atau
lembaga pendidikan yang memiliki input, proses pendidikan, dan output yang
baik. Effective school adalah sekolah yang mungkin memiliki input baik
atau kurang baik, proses pendidikannya sangat baik dan outputnya baik atau
bermutu. Excellence school merupakan sekolah yang memiliki input,
proses, dan output pendidikan sangat baik, jadi sejak pertama kali masuk sampai
keluaran dari sekolah tersebut benar-benar sangat baik. Pendidikan harus
betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu
bersaing, disamping memiliki budi perkerti yang luhur dan moral baik.
Salah satu isu penting
dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini adalah peningkatan mutu
pendidikan, namun yang terjadi justru kemrosotan pendidikan dasar, menengah,
maupun tingkat pendidikan tinggi. Hal ini berlangsung akibat penyelenggaraan
pendidikan yang lebih menitikberatkan pada aspek kuantitas dan kurang dibarengi
dengan aspek kualitasnya. Peningkatan kualitas pendidikan ditentukan oleh
peningkatan proses belajar mengajar. Dengan adanya peningkatan proses belajar
mengajar dapat meningkat pula kualitas lulusannya. Peningkatan kualitas proses
pembelajaran ini sangat tergantung pada pengelolaan sekolah dan
pengajaran/pendekatan yang diterapkan guru.
Hakikat pendidikan
adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa
sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu
seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging
dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan
ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi
kita untuk memperbaiki mutu pendidikan.
Dengan membangun visi
dan misi yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu dan bahkan memang tidak
diberdayakan untuk mampu mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah
pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan penunjuk arah untuk
membangun pendidikan yang bermutu. Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu
pengetahuan danteknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga
maknanya tidak jelas, abu-abu, filosofis, dan tidak operasional. Misi adalah
pernyataan sebagai bentuk operasionalisasi visi, misalnya “mambangun siswa yang
kreatif dan disiplin”, dan sebagainya. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam
rencana kerja tahunan sekolah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas dapat dirumuskan berbagai rumusan masalah antara lain :
1. Apakah sekolah bermutu itu ?
2. Apakah standar sekolah bermutu itu ?
3. Apakah budaya dalam pendidikan itu ?
4. Bagaimana dampak budaya terhadap pendidikan ?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan
karya tulis ini dengan judul model sekolah bermutu berbasis budaya adalah:
1. Untuk mengetahui secara luas yang disebut sekolah bermutu berserta kreterianya.
2. Untuk mengatahui standar-standar sekolah yang dikatakan bernutu tersebut.
Untuk mengetahui kaitan budaya dengan pendidikan.
D. Sekolah Bermutu
Mutu pendidikan sangat tergantung oleh kemampuan suatu
bangsa dalam mengelolanya. Kemampuan tersebut tidak hanya dengan niat semata,
melainkan dengan usaha yang keras dan berkesinambungan dengan menggunakan
berbagai cara. Cara tersebut dengan mengaplikasikan sistem atau teknik yang
sering digunakan dalam manajemen modern saat ini.
Sekolah bermutu adalah
sekolah yang mampu mewujudkan siswa-siswa yang bermutu, yang sesuai dengan
tujuan pendidikan yaitu manusia yang cerdas, trampil, beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki kepribadian. Target tersebut dapat
dicapai oleh sekolah mana saja. Bisa yang berada di kota maupun yang berada di
daerah pinggiran.
Sejauh mana pembenahan
dan sistem pengendalian ke dalam yang dilakukan oleh sekolah sangat menentukan
pencapaian target yang dimaksud. Prioritas utama yang sebaiknya dituju dalam
sistem pengendalian adalah faktor manusia secara kelembagaan, dalam hal ini
tenaga pendidik (guru) dan tenaga kependidikan (karyawan). Karena bagaimanapun
juga tanpa adanya manusia yang andal akan disangsikan tingkat pencapaian
keberhasilannya.
Teraktualisasinya
sebuah sistem kerja yang profesional dalam bentuk komitmen akan sangat
menentukan arah yang jelas menuju sekolah yang bermutu. Ketika optimalisasi
terhadap sumber daya yang dimiliki oleh suatu sekolah diberdayakan maka bukan
sesuatu yang mustahil sekolah tersebut bisa memiliki internal branding yang valuable
(bernilai). Adapun sumber daya yang paling utama untuk diberdayakan adalah
sumber daya manusia (SDM) : guru, karyawan, dan siswa. Kaitannya dengan
pemberdayaan SDM seyogyanya harus diperhatikan segala sesuatu yang berhubungan
dengan sifat-sifat manusia, faktor kejiwaan, kepuasan kerja, kenyamanan kerja,
motivasi, inovasi, kreatifitas, loyalitas, kestabilan jiwa, cooperative, reward, punishment, dan optimisme. Optimisme yang dimaksud
adalah kesadaran bahwa setiap individu yang berada di dalam sekolah masing-masing
memiliki potensi diri yang luar biasa. Setiap guru adalah luar biasa. Setiap
karyawan adalah luar biasa. Demikian pula siswa sesungguhnya tidak ada yang
bodoh. Tinggi rendahnya achievement
(prestasi) yang diraih oleh siswa dikarenakan adanya perbedaan konsep diri
(Gunawan, 2007: 6). Anak yang prestasinya baik sangat dimungkinkan karena dia
sudah menemukan konsep dirinya; sudah bisa menganggap penting semua pelajaran,
sudah bisa menikmati nyamannya belajar, dan sudah bisa mengatur waktu belajar
dengan baik.
Salah satu upaya
meningkatkan mutu pendidikan ialah dengan menciptakan sekolah yang bermutu agar
dapat mewujudkan lulusan sesuai harapan para lulusan, orang tua, pendidikan
lanjut, pemerintah dan dunia usaha serta masyarakat secara luas. Beberapa pola
peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat
secara langsung memberikan efek perbaikan mutu (Faturrahman, dkk, 2012: 37).
Diantaranya adalah dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain;
Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek
Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan
Imbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru,
Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Bantuan
Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita
simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk
membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam pengelolaan
sekolah yang efektif dan berorientasi pada mutu pendidikan tidak hanya memerlukan
sekedar kurikulum dan dana yang menjanjikan tetapi juga diperlukan suatu
komitmen yang penuh kesungguhan dalam peningkatan mutu, berjangka panjang
(human investment) dan membutuhkan penggunaan peralatan dan teknik-teknik
tertentu. Komitmen tersebut harus didukung oleh dedikasi yang tinggi terhadap
mutu melalui penyempurnaan proses yang berkelanjutan oleh semua pihak yang
terlibat yang dikenal dengan istilah MMT (Manajemen Mutu Terpadu). Danim . S (2006)
mengidentifikasi 13 ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu:
1. Sekolah berfokus pada pelanggan,
baik pelanggan internal maupun eksternal.
2. Sekolah berfokus pada upaya untuk
mencegah masalah yang muncul , dengan komitmen untuk bekerja secara benar dari
awal.
3. Sekolah memiliki investasi pada
sumber daya manusianya, sehingga terhindar dari berbagai “kerusakan psikologis”
yang sangat sulit memperbaikinya.
4. Sekolah memiliki strategi untuk
mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga
administratif.
5. Sekolah mengelola atau memperlakukan
keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan
sebagai instrumen untuk berbuat benar pada masa berikutnya.
6. Sekolah memiliki kebijakan dalam
perencanaan untuk mencapai kualitas, baik untuk jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka panjang.
7. Sekolah mengupayakan proses
perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan
tanggung jawabnya.
8. Sekolah mendorong orang dipandang
memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas dan merangsang yang lainnya
agar dapat bekerja secara berkualitas.
9. Sekolah memperjelas peran dan
tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan
horozontal.
10. Sekolah memiliki strategi dan
kriteria evaluasi yang jelas.
11. Sekolah memnadang atau menempatkan
kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk untuk memperbaiki kualitas
layanan lebih lanjut.
12. Sekolah memandang kualitas sebagai
bagian integral dari budaya kerja.
13. Sekolah menempatkan peningkatan
kualitas secara terus menerus sebagai suatu keharusan.
E.
Standar Sekolah Bermutu
Sekolah bermutu adalah
sekolah yang mampu mewujudkan siswa-siswa yang bermutu, yang sesuai dengan
tujuan pendidikan yaitu manusia yang cerdas,
trampil, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki
kepribadian. Baker (2005) yang dikutip menurut Engkoswara (2010: 310)
memaparkan standar sekolah yang bermutu, adalah sebagai berikut:
- Administrator dan jajarannya serta guru-guru adalah para profesional yang handal.
- Tersedia kurikulum yang luas bagi seluruh siswa.
- Memilii filosofi yang selalu dikomunikasikan bahwa seluruh anak dapat belajar dengan harapan yang tinggi.
- Iklim yang baik untuk belajar, aman, bersih, mempedulikan dan terorganisasi dengan baik.
- Suatu sistem penilaian berkelajutan yang didukung supervisi.
- Keterlibatan masyarakat yang tinggi.
- Membantu para guru mengembangkan strategi, teknik instruksional dan mendorong kerja sama kelompok.
- Menyusun jadwal secara terprogram untuk memberikan pelatihan dan jabatan dan seminar untuk seluruh staf.
- Pengorganisasian SDM untuk melayani seluruh siswa.
- Komuniasi dengan orangtua dan menyediakan waktu cukup untuk dialog.
- Menetapkan dan mengartikulasikan tujuan secara jelas.
- Pelihara staf yang memiliki keseimbangan keterampilan dan kemampuan, ketahui kekuatan dan kapabilitas khusus dari ataf.
- Bekerja untuk memelihara moril tinggi yang berkontribusi terhadap stabilitas organisasi dan membatasi tingkat turn-over (perputaran guru).
- Bekerja keras untuk memelihara ukuran kelas sesuai dengan mata pelajaran dan tingkat kelas siswa sesuai dengan aturan yang ada.
- Kembangkan dengan staf dan orangtua kebijakan sekolah dalam disiplin, penilaian, kehadiran, pengujian, promosi dan ingatan.
- Kerja sama guru dan orangtua untuk menyediakan dukungan pelayanan dalam pemecahan permasalahan siswa.
- Memelihara hubungan baik dengan pemerintah daerah.
Sagala (2005: 8-9)
menyatakan : “Sekolah dikatakan bermutu apabila prestasi siswa menunjukkan
pencapaian yang tinggi dalam (1) prestasi akademik (2) nilai-nilai kejujuran,
ketaqwaan, kesopanan, dan mampu mengapresiasi nilai-nilai budaya, dan (3)
memiliki tanggung jawab dan kemampuan tinggi yang diwujudkan dalam bentuk
keterampilan sesuai dasar ilmu yang diterima disekolah”.
F. Budaya
dalam Pendidikan
Teori budaya tempat baru-baru ini tengah di perdebatkan
seputar relevansi, hubungan, dan kekakuan dalam proses pembelajaran. Castagno dan Brayboy
(2008) dalam Kana’iaupuni. S, Ledward. B, Jensen (2010: 2) menyatakan
pendidikan budaya responsive / relevan mengakui kesenjangan budaya antara rumah
dan sekolah sebagai bagian dari kesenjangan prestasi dan menyerukan relevansi
budaya dalam pendidikan untuk terlibat, mendukung, dan memberdayakan peserta
didik. Budaya memberikan pengalaman sosial yang membimbing
mereka dalam pengembangan dan penggunaan keterampilan kognitif situasional
(Maynard, 2005: 13).
Di
atas telah dibahsan bahwa untuk menciptakan sekolah bermutu diperlukan komitmen
tinggi dari staf administrasi, guru, dan kepala sekolah, sehingga selalu
memiliki tekad yang berapi-api untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah
bermutu dalam segalah aspek. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi
dalam proses pendidikan. Dimana komitmen dari seluruh anggota yang terkait
menjadi energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi
budaya unggul (bermutu). Menurut Faturrahman (2012: 48) fungsi budaya dalam
pendidikan dapat untuk pengembangan,
perbaikan, dan penyaringan yang dimaksudnya adalah:
a. Pengembangan
potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik, ini bagi peserta
didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya bangsa.
b. Perbaikan
akan memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam
mengembang potensi peserta didik yang lebih bermartabat, dan.
c. Penyaringan
berguna untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang bermartabat.
Model sekolah bermutu
seperti digambarkan di atas terwujud bila sekolah tidak ekslusif bak menara
monas, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan
terhadap nurani masyarakat (a sense of
community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu
lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat di sumbangkan
pada sekolah. Adapun
nilai-nilai budaya yang berharga untuk diperjuangkan adalah:
1. Nilai Kejujuran
2. Nilai Patrotisme
3. Nilai Persaingan
4. Nilai Jarmonis dan Kerjasama
Budaya pendidikan
menurut Prawironegoro. D (2010) ialah proses berpikir kritis, dialektis dan
kreatif tentang upaya membentuk karakter peserta didik (siswa atau mahasiswa)
dan upaya meningkatkan kemampuan berpikir. Budaya pendidikan terbagi dalam dua
jenis:
- Antroposentrisme atau sekulerisasi pendidikan, yaitu mencipta manusia mandiri yang mampu mengelola lingkungan alam dan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara materiil dan non-materiil. Manusia harus mempunyai nilai sosial dan mampu membangun kehidupan duniawi dan solidaritas sosial, orientasinya pada ilmu dan teknologi, ukurannya adalah kecerdasan intelektual (intelligence quotionent) kecerdasan sosial (social quotionent), kecerdasan emosional (emotional quotionent), intinya melahirkan manusia yang memiliki keterampilan berpikir dan keterampilan berbuat memberdayakan lingkungan alam dan sosial.
- Teosentis atau spiritualisasi pendidikan yaitu mencipta manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan. Setiap kerja manusia harus mempunyai nilai Ketuhanan. Tujuannya membangun kehidupan duniawi untuk mengabdi kepada Tuhan, kehidupan duniawi atau kehidupan sosial merupakan sarana untuk menuju ke kehidupan spiritual, yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi, iman, dan taqwa, ukurannya adalah adalah kecerdasan intelektual (intelligence quotionent) kecerdasan sosial (social quotionent), kecerdasan emosional (emotional quotionent) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotionent).
Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan
pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain
pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari kondisi kehidupan nyata.
Antara dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan sinergis.
Dengan demikian, antara nilai-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis
terikat dengan hubungan yang kontinum. Tidak satupun dari komponen ilmu pengetahuan
yang terlepas dari nilai dan norma budaya.
Krisis
terlihat menjadi sangat akut bagi individu yang dianggap produk dari zaman
modern, dimana terperangkap dari kapitalisme, urbanisasi, keluarga, mobilitas
geografis, dan ledakan di bidang informasi dan teknologi membuka jalan
berafliasi dunia yang sangat berbeda dengan fleksibilitas dan penyesuaian.
Negara besar-besaran berupaya membatasi kebebasan ini, penetapan tren sosial
politik yang membatalkan batas-batas budaya tetap. Identitas dan tujuan yang
jelas, argumen lain berjalan menghampiri kehidupan pemuda abad ini, dan standar
dimana pilihan bertanggung jawab secara moral yang terkikis ke titik penolakan.
Levinson dan Ackerman dalam Merry (2010:
71) menyatakan bahwa orang modern yang tidak memiliki identitas dan tujuan yang
jelas dalam hidup karena mereka tidak memiliki kohorensi (hubungan baik) dengan
budaya.
D.
Hubungan
Budaya dengan Pendidikan
Gandhi dalam
Yim Samuel (2009: 21) menyatakan bahwa sistem pendidikan mengasingkan siswa dari pekerjaan tradisional mereka
sendiri, lingkungan alam dan budaya asli, dan mengembangkan sebuah rendah diri yang
kompleks dan pengasingan
diri. Penekanan berlebihan diletakkan
pada pemberantasan buta aksara, dengan
mengesampingkan budaya yang
mendukung kehidupan nilai-nilai kemanusiaan. Ini mengabaikan jantung
dan tangan budaya
yang terlalu materialistis dan
karenanya gagal untuk
membangkitkan rasa kepedulian sosial.
Hasil dari analisis bertingkat, yang dilakukan Kana’iaupuni.
S, Ledward. B, Jensen (2010) menyatakan beberapa temuan sementara didasarkan pada hubungan antara penggunaan strategi sekolah
berbasis budaya (Culture Based Education) oleh guru dan seluruh sekolah dengan
hasil siswa.
- Penggunaan sekolah berbasis budaya berkaitan baik dengan kesejahteraan sosioemosional siswa (misalnya, identitas, efektivitas diri, hubungan sosial).
- Peningkatan kesejahteraan sosioemosional pada dasarnya berhubungan baik dengan matematika dan skor tes membaca.
- Sekolah berbasis budaya secara signifikan berhubungan dengan matematika dan skor tes membaca, ketika guru menggunakan strategi berbasis budaya.
- Tingkat kematangan sosioemosional siswa mempengaruhi hasil matematika dan membaca siswa.
Hasil penelitian
tersebut didukung pendapatnya Thomas dan Heck (2009) dalam Kana’iaupuni.
S, Ledward. B, Jensen (2010) bahwa pendidikan berbasis budaya merupakan
predictor penting dari prestasi siswa. Dimana terdapat konstruksi utama yaitu:
guru pendidikan berbasis budaya, siswa, dan prestasi, dan ternyata pendidikan
berbasis budaya mempengaruhi prestasi siswa.
Selanjutnya Eviatar (dalam Rosselli. M dan Ardila. A, 2003:
331) berpendapat bahwa budaya adalah variable seperti usia atau jenis kelamin
yang dapat menjadi penting dalam delimitasi cara di mana proses kognitif yang
lebih tinggi berkaitan dengan organisasi otak.
G. Kesimpulan
Salah
satu upaya meningkatkan mutu pendidikan ialah dengan menciptakan sekolah yang
bermutu agar dapat mewujudkan lulusan sesuai harapan para lulusan, orang tua,
pendidikan lanjut, pemerintah dan dunia usaha serta masyarakat secara luas. Dalam
pengelolaan sekolah yang efektif dan berorientasi pada mutu pendidikan tidak
hanya memerlukan sekedar kurikulum dan dana yang menjanjikan tetapi juga
diperlukan suatu komitmen yang penuh kesungguhan dalam peningkatan mutu, berjangka
panjang (human investment) dan membutuhkan penggunaan peralatan dan
teknik-teknik tertentu. Komitmen tersebut harus didukung oleh dedikasi yang
tinggi terhadap mutu melalui penyempurnaan proses yang berkelanjutan oleh semua
pihak yang terlibat yang dikenal dengan istilah MMT (Manajemen Mutu Terpadu).
Pendidikan berbasis
budaya membantu mengembangkan dan menggunakan proses berpikir kritis, dialektis
dan kreatif tentang upaya membentuk karakter peserta didik (siswa atau
mahasiswa) dan upaya meningkatkan kemampuan berpikir. Pendidikan
berbasis budaya merupakan predictor penting dari prestasi siswa. Dimana
terdapat konstruksi utama yaitu: guru pendidikan berbasis budaya, siswa, dan
prestasi, dan ternyata pendidikan berbasis budaya mempengaruhi prestasi siswa.
Untuk meningkatkan mutu
pendidikan tidak hanya dengan merubah kurikulum atau menggalangkan dana yang
cukup besar semata, tetapi diperlukannya senergisitas para pihak yang terkait
dalam pendidikan dengan berkomitmen.
Refrensi
Danim
Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen
Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara
Gunawan
W. Adi. 2007. Genius Learning Strategy.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Engkoswara.
2010. Adminsitrasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Faturrahman,
dkk. 2012. Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Kana’iaupuni.
S, Ledward. B, Jensen. U. 2010. Culture-Based Education and Its
Relationship to Student Outcomes.
Honolulu: Kamehameha Schools Research & Evaluation. Diunduh tanggal 11 April 2013 dari www.ksbe.edu/spi
Maynard
E. Ashley. 2005. Learning in Cultural
Context Family, Peers, and School. Hawai’i: University of Hawai`i.
Merry S. Michael. 2010. Culture, Identity, and Islamic Schooling.
United States of America: Palgrave Macmillan.
Rosselli Monica dan Ardila Alfredo. 3003. The Impact of Culture and Education on
Non-Verbal Neuropsychological measurement: A Critical Review, Brain and Cognition Vol. 52, pp.
326-333. Diunduh tanggal 10 April 2013 dari www.sciencedirect.com.
Sagala,
Syaiful. 2005. Konsep Dan Makna
Pembelajaran. Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar.
Bandung, CV Alfabeta
Yim, Samauel. 2009. The Challenges of Culture-based Learning. United
States of America: University Press of America.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar