TELUSURI

Minggu, 19 Mei 2013

MODEL SEKOLAH BERMUTU BERBASIS BUDAYA


By : Rabial Kanada
A.  Latar Belakang
Sekolah merupakan tempat di mana para siswa dapat belajar berbagai perihal kehidupan. Siswa di sekolah mendapatkan pengajaran, bimbingan, dan pendidikan yang dilakukan  oleh para tenaga pendidik. Suatu sekolah tentu memiliki tujuan tertentu yang sesuai visi dan misinya masing-masing selain untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kemajuan pendidikan akan menompa kemajuan suatu bangsa. Karena itulah pendidikan menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan agar bisa menghasilkan output yang bisa berguna bagi bangsa.
Akhir-akhir ini pendidikan atau suatu lembaga dikatakan berhasil dan sukses dilihat dari mutu dan prosesnya. Ketika mutu suatu lembaga sudah bagus maka tentu outpunya akan bagus pula. Demikian juga proses dalam menjadikan siswa itu mampu menguasai apa yang seharusnya dikuasai maka dapat pula dikatakan begus. Dari proses yang baik maka kemungkina akan timbul hasil yang baik pula.
Jika kita perhatikan, ada empat tipe sekolah dilihat dari mutu dan proses pendidikannya, yaitu; Bad school adalah gambaran sekolah yang memiliki input baik namun proses pendidikan dan outputnya tidak bermutu. Good school adalah sekolah atau lembaga pendidikan yang memiliki input, proses pendidikan, dan output yang baik. Effective school adalah sekolah yang mungkin memiliki input baik atau kurang baik, proses pendidikannya sangat baik dan outputnya baik atau bermutu. Excellence school merupakan sekolah yang memiliki input, proses, dan output pendidikan sangat baik, jadi sejak pertama kali masuk sampai keluaran dari sekolah tersebut benar-benar sangat baik. Pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, disamping memiliki budi perkerti yang luhur dan moral baik.
Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia saat ini adalah peningkatan mutu pendidikan, namun yang terjadi justru kemrosotan pendidikan dasar, menengah, maupun tingkat pendidikan tinggi. Hal ini berlangsung akibat penyelenggaraan pendidikan yang lebih menitikberatkan pada aspek kuantitas dan kurang dibarengi dengan aspek kualitasnya. Peningkatan kualitas pendidikan ditentukan oleh peningkatan proses belajar mengajar. Dengan adanya peningkatan proses belajar mengajar dapat meningkat pula kualitas lulusannya. Peningkatan kualitas proses pembelajaran ini sangat tergantung pada pengelolaan sekolah dan pengajaran/pendekatan yang diterapkan guru.
Hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan.
Dengan membangun visi dan misi yang jelas. Mayoritas sekolah kita belum mampu dan bahkan memang tidak diberdayakan untuk mampu mengartikulasikan visi dan misinya. Visi adalah pernyataan singkat, mudah diingat, pemberi semangat, dan penunjuk arah untuk membangun pendidikan yang bermutu. Konsep iman dan taqwa (imtaq) dan ilmu pengetahuan danteknologi (iptek) selama ini terlalu sering dipakai sehingga maknanya tidak jelas, abu-abu, filosofis, dan tidak operasional. Misi adalah pernyataan sebagai bentuk operasionalisasi visi, misalnya “mambangun siswa yang kreatif dan disiplin”, dan sebagainya. Prioritas ini dinyatakan eksplisit dalam rencana kerja tahunan sekolah.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan berbagai rumusan masalah antara lain :
1. Apakah sekolah bermutu itu ?
2. Apakah standar sekolah bermutu itu ?
3. Apakah budaya dalam pendidikan itu ?
4. Bagaimana dampak budaya terhadap pendidikan ?
C.  Tujuan
Adapun tujuan penulisan karya tulis ini dengan judul model sekolah bermutu berbasis budaya adalah:
1. Untuk mengetahui secara luas yang disebut  sekolah bermutu berserta kreterianya.
2. Untuk mengatahui standar-standar sekolah yang dikatakan bernutu tersebut.
Untuk mengetahui kaitan budaya dengan pendidikan.

D.  Sekolah Bermutu
Mutu pendidikan sangat tergantung oleh kemampuan suatu bangsa dalam mengelolanya. Kemampuan tersebut tidak hanya dengan niat semata, melainkan dengan usaha yang keras dan berkesinambungan dengan menggunakan berbagai cara. Cara tersebut dengan mengaplikasikan sistem atau teknik yang sering digunakan dalam manajemen modern saat ini.
Sekolah bermutu adalah sekolah yang mampu mewujudkan siswa-siswa yang bermutu, yang sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu manusia yang cerdas, trampil, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki kepribadian. Target tersebut dapat dicapai oleh sekolah mana saja. Bisa yang berada di kota maupun yang berada di daerah pinggiran.
Sejauh mana pembenahan dan sistem pengendalian ke dalam yang dilakukan oleh sekolah sangat menentukan pencapaian target yang dimaksud. Prioritas utama yang sebaiknya dituju dalam sistem pengendalian adalah faktor manusia secara kelembagaan, dalam hal ini tenaga pendidik (guru) dan tenaga kependidikan (karyawan). Karena bagaimanapun juga tanpa adanya manusia yang andal akan disangsikan tingkat pencapaian keberhasilannya.
Teraktualisasinya sebuah sistem kerja yang profesional dalam bentuk komitmen akan sangat menentukan arah yang jelas menuju sekolah yang bermutu. Ketika optimalisasi terhadap sumber daya yang dimiliki oleh suatu sekolah diberdayakan maka bukan sesuatu yang mustahil sekolah tersebut bisa memiliki internal branding yang valuable (bernilai). Adapun sumber daya yang paling utama untuk diberdayakan adalah sumber daya manusia (SDM) : guru, karyawan, dan siswa. Kaitannya dengan pemberdayaan SDM seyogyanya harus diperhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat-sifat manusia, faktor kejiwaan, kepuasan kerja, kenyamanan kerja, motivasi, inovasi, kreatifitas, loyalitas, kestabilan jiwa, cooperative, reward, punishment, dan optimisme. Optimisme yang dimaksud adalah kesadaran bahwa setiap individu yang berada di dalam sekolah masing-masing memiliki potensi diri yang luar biasa. Setiap guru adalah luar biasa. Setiap karyawan adalah luar biasa. Demikian pula siswa sesungguhnya tidak ada yang bodoh. Tinggi rendahnya achievement (prestasi) yang diraih oleh siswa dikarenakan adanya perbedaan konsep diri (Gunawan, 2007: 6). Anak yang prestasinya baik sangat dimungkinkan karena dia sudah menemukan konsep dirinya; sudah bisa menganggap penting semua pelajaran, sudah bisa menikmati nyamannya belajar, dan sudah bisa mengatur waktu belajar dengan baik.
Salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan ialah dengan menciptakan sekolah yang bermutu agar dapat mewujudkan lulusan sesuai harapan para lulusan, orang tua, pendidikan lanjut, pemerintah dan dunia usaha serta masyarakat secara luas. Beberapa pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu (Faturrahman, dkk, 2012: 37). Diantaranya adalah dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan Imbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam pengelolaan sekolah yang efektif dan berorientasi pada mutu pendidikan tidak hanya memerlukan sekedar kurikulum dan dana yang menjanjikan tetapi juga diperlukan suatu komitmen yang penuh kesungguhan dalam peningkatan mutu, berjangka panjang (human investment) dan membutuhkan penggunaan peralatan dan teknik-teknik tertentu. Komitmen tersebut harus didukung oleh dedikasi yang tinggi terhadap mutu melalui penyempurnaan proses yang berkelanjutan oleh semua pihak yang terlibat yang dikenal dengan istilah MMT (Manajemen Mutu Terpadu). Danim . S (2006) mengidentifikasi 13 ciri-ciri sekolah bermutu, yaitu:
1.      Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal.
2.   Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul , dengan komitmen untuk bekerja secara benar dari awal.
3.  Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya, sehingga terhindar dari berbagai “kerusakan psikologis” yang sangat sulit memperbaikinya.
4.  Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik, maupun tenaga administratif.
5.      Sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrumen untuk berbuat benar pada masa berikutnya.
6.    Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
7.  Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.
8.  Sekolah mendorong orang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.
9.    Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertikal dan horozontal.
10.  Sekolah memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas.
11. Sekolah memnadang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.
12.  Sekolah memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja.
13.  Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai suatu keharusan.
E.   Standar Sekolah Bermutu
Sekolah bermutu adalah sekolah yang mampu mewujudkan siswa-siswa yang bermutu, yang sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu manusia yang cerdas, trampil, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki kepribadian. Baker (2005) yang dikutip menurut Engkoswara (2010: 310) memaparkan standar sekolah yang bermutu, adalah sebagai berikut: 
  1. Administrator dan jajarannya serta guru-guru adalah para profesional yang handal. 
  2. Tersedia kurikulum yang luas bagi seluruh siswa. 
  3. Memilii filosofi yang selalu dikomunikasikan bahwa seluruh anak dapat belajar dengan harapan yang tinggi. 
  4. Iklim yang baik untuk belajar, aman, bersih, mempedulikan dan terorganisasi dengan baik. 
  5. Suatu sistem penilaian berkelajutan yang didukung supervisi. 
  6. Keterlibatan masyarakat yang tinggi.
  7. Membantu para guru mengembangkan strategi, teknik instruksional dan mendorong kerja sama kelompok.
  8. Menyusun jadwal secara terprogram untuk memberikan pelatihan dan jabatan dan seminar untuk seluruh staf. 
  9. Pengorganisasian SDM untuk melayani seluruh siswa. 
  10. Komuniasi dengan orangtua dan menyediakan waktu cukup untuk dialog. 
  11. Menetapkan dan mengartikulasikan tujuan secara jelas. 
  12. Pelihara staf yang memiliki keseimbangan keterampilan dan kemampuan, ketahui kekuatan dan kapabilitas khusus dari ataf. 
  13. Bekerja untuk memelihara moril tinggi yang berkontribusi terhadap stabilitas organisasi dan membatasi tingkat turn-over (perputaran guru). 
  14. Bekerja keras untuk memelihara ukuran kelas sesuai dengan mata pelajaran dan tingkat kelas siswa sesuai dengan aturan yang ada. 
  15. Kembangkan dengan staf dan orangtua kebijakan sekolah dalam disiplin, penilaian, kehadiran, pengujian, promosi dan ingatan. 
  16. Kerja sama guru dan orangtua untuk menyediakan dukungan pelayanan dalam pemecahan permasalahan siswa. 
  17. Memelihara hubungan baik dengan pemerintah daerah.
Sagala (2005: 8-9) menyatakan : “Sekolah dikatakan bermutu apabila prestasi siswa menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam (1) prestasi akademik (2) nilai-nilai kejujuran, ketaqwaan, kesopanan, dan mampu mengapresiasi nilai-nilai budaya, dan (3) memiliki tanggung jawab dan kemampuan tinggi  yang diwujudkan dalam bentuk keterampilan sesuai dasar ilmu yang diterima disekolah”.
F.  Budaya dalam Pendidikan
Teori budaya tempat baru-baru ini tengah di perdebatkan seputar relevansi, hubungan, dan kekakuan dalam proses pembelajaran. Castagno dan Brayboy (2008) dalam Kana’iaupuni. S, Ledward. B, Jensen (2010: 2) menyatakan pendidikan budaya responsive / relevan mengakui kesenjangan budaya antara rumah dan sekolah sebagai bagian dari kesenjangan prestasi dan menyerukan relevansi budaya dalam pendidikan untuk terlibat, mendukung, dan memberdayakan peserta didik. Budaya memberikan pengalaman sosial yang membimbing mereka dalam pengembangan dan penggunaan keterampilan kognitif situasional (Maynard, 2005: 13).
Di atas telah dibahsan bahwa untuk menciptakan sekolah bermutu diperlukan komitmen tinggi dari staf administrasi, guru, dan kepala sekolah, sehingga selalu memiliki tekad yang berapi-api untuk menjadikan sekolahnya sebagai sekolah bermutu dalam segalah aspek. Semuanya memiliki potensi untuk berkontribusi dalam proses pendidikan. Dimana komitmen dari seluruh anggota yang terkait menjadi energi untuk mengubah budaya konvensional (biasa-biasa saja) menjadi budaya unggul (bermutu). Menurut Faturrahman (2012: 48) fungsi budaya dalam pendidikan dapat untuk pengembangan, perbaikan, dan penyaringan yang dimaksudnya adalah:
a.       Pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik, ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya bangsa.
b.      Perbaikan akan memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam mengembang potensi peserta didik yang lebih bermartabat, dan.
c.       Penyaringan berguna untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang bermartabat.
Model sekolah bermutu seperti digambarkan di atas terwujud bila sekolah tidak ekslusif bak menara monas, tetapi tumbuh sebagai bagian dari masyarakat sehingga memiliki kepekaan terhadap nurani masyarakat (a sense of community). Dalam masyarakat setiap individu berhubungan dengan individu lain, dan masing-masing memiliki potensi dan kualitas yang dapat di sumbangkan pada sekolah. Adapun nilai-nilai budaya yang berharga untuk diperjuangkan adalah:
1. Nilai Kejujuran
2. Nilai Patrotisme
3. Nilai Persaingan
4. Nilai Jarmonis dan Kerjasama

Budaya pendidikan menurut Prawironegoro. D (2010) ialah proses berpikir kritis, dialektis dan kreatif tentang upaya membentuk karakter peserta didik (siswa atau mahasiswa) dan upaya meningkatkan kemampuan berpikir. Budaya pendidikan terbagi dalam dua jenis: 
  1. Antroposentrisme atau sekulerisasi pendidikan, yaitu mencipta manusia mandiri yang mampu mengelola lingkungan alam dan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara materiil dan non-materiil. Manusia harus mempunyai nilai sosial dan mampu membangun kehidupan duniawi dan solidaritas sosial, orientasinya pada ilmu dan teknologi, ukurannya adalah kecerdasan intelektual (intelligence quotionent) kecerdasan sosial (social quotionent), kecerdasan emosional (emotional quotionent), intinya melahirkan manusia yang memiliki keterampilan berpikir dan keterampilan berbuat memberdayakan lingkungan alam dan sosial. 
  2. Teosentis atau spiritualisasi pendidikan yaitu mencipta manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan. Setiap kerja manusia harus mempunyai nilai Ketuhanan. Tujuannya membangun kehidupan duniawi untuk mengabdi kepada Tuhan, kehidupan duniawi atau kehidupan sosial merupakan sarana untuk menuju  ke kehidupan spiritual, yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi, iman, dan taqwa, ukurannya adalah adalah kecerdasan intelektual (intelligence quotionent) kecerdasan sosial (social quotionent), kecerdasan emosional (emotional quotionent) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotionent).
Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari kondisi kehidupan nyata. Antara dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan sinergis. Dengan demikian, antara nilai-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis terikat dengan hubungan yang kontinum. Tidak satupun dari komponen ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai dan norma budaya.
Krisis terlihat menjadi sangat akut bagi individu yang dianggap produk dari zaman modern, dimana terperangkap dari kapitalisme, urbanisasi, keluarga, mobilitas geografis, dan ledakan di bidang informasi dan teknologi membuka jalan berafliasi dunia yang sangat berbeda dengan fleksibilitas dan penyesuaian. Negara besar-besaran berupaya membatasi kebebasan ini, penetapan tren sosial politik yang membatalkan batas-batas budaya tetap. Identitas dan tujuan yang jelas, argumen lain berjalan menghampiri kehidupan pemuda abad ini, dan standar dimana pilihan bertanggung jawab secara moral yang terkikis ke titik penolakan. Levinson dan Ackerman  dalam Merry (2010: 71) menyatakan bahwa orang modern yang tidak memiliki identitas dan tujuan yang jelas dalam hidup karena mereka tidak memiliki kohorensi (hubungan baik) dengan budaya.
D.      Hubungan Budaya dengan Pendidikan
Gandhi dalam Yim Samuel (2009: 21) menyatakan bahwa sistem pendidikan mengasingkan siswa dari pekerjaan tradisional mereka sendiri, lingkungan alam dan budaya asli, dan mengembangkan sebuah rendah diri yang kompleks dan pengasingan diri. Penekanan berlebihan diletakkan pada pemberantasan buta aksara, dengan mengesampingkan budaya yang mendukung kehidupan nilai-nilai kemanusiaan. Ini mengabaikan jantung dan tangan budaya yang terlalu materialistis dan karenanya gagal untuk membangkitkan rasa kepedulian sosial.
Hasil dari analisis bertingkat, yang dilakukan Kana’iaupuni. S, Ledward. B, Jensen (2010) menyatakan beberapa temuan sementara didasarkan pada hubungan antara penggunaan strategi sekolah berbasis budaya (Culture Based Education) oleh guru dan seluruh sekolah dengan hasil siswa.
  1. Penggunaan sekolah berbasis budaya berkaitan baik dengan kesejahteraan sosioemosional siswa (misalnya, identitas, efektivitas diri, hubungan sosial).
  2. Peningkatan kesejahteraan sosioemosional pada dasarnya berhubungan baik dengan matematika dan skor tes membaca.
  3.  Sekolah berbasis budaya secara signifikan berhubungan dengan matematika dan skor tes membaca, ketika guru menggunakan strategi berbasis budaya.
  4. Tingkat kematangan sosioemosional siswa mempengaruhi hasil matematika dan membaca siswa.
Hasil penelitian tersebut didukung pendapatnya Thomas dan Heck (2009) dalam Kana’iaupuni. S, Ledward. B, Jensen (2010) bahwa pendidikan berbasis budaya merupakan predictor penting dari prestasi siswa. Dimana terdapat konstruksi utama yaitu: guru pendidikan berbasis budaya, siswa, dan prestasi, dan ternyata pendidikan berbasis budaya mempengaruhi prestasi siswa. 


Selanjutnya Eviatar (dalam Rosselli. M dan Ardila. A, 2003: 331) berpendapat bahwa budaya adalah variable seperti usia atau jenis kelamin yang dapat menjadi penting dalam delimitasi cara di mana proses kognitif yang lebih tinggi berkaitan dengan organisasi otak.

G.  Kesimpulan
Salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan ialah dengan menciptakan sekolah yang bermutu agar dapat mewujudkan lulusan sesuai harapan para lulusan, orang tua, pendidikan lanjut, pemerintah dan dunia usaha serta masyarakat secara luas. Dalam pengelolaan sekolah yang efektif dan berorientasi pada mutu pendidikan tidak hanya memerlukan sekedar kurikulum dan dana yang menjanjikan tetapi juga diperlukan suatu komitmen yang penuh kesungguhan dalam peningkatan mutu, berjangka panjang (human investment) dan membutuhkan penggunaan peralatan dan teknik-teknik tertentu. Komitmen tersebut harus didukung oleh dedikasi yang tinggi terhadap mutu melalui penyempurnaan proses yang berkelanjutan oleh semua pihak yang terlibat yang dikenal dengan istilah MMT (Manajemen Mutu Terpadu).
Pendidikan berbasis budaya membantu mengembangkan dan menggunakan proses berpikir kritis, dialektis dan kreatif tentang upaya membentuk karakter peserta didik (siswa atau mahasiswa) dan upaya meningkatkan kemampuan berpikir. Pendidikan berbasis budaya merupakan predictor penting dari prestasi siswa. Dimana terdapat konstruksi utama yaitu: guru pendidikan berbasis budaya, siswa, dan prestasi, dan ternyata pendidikan berbasis budaya mempengaruhi prestasi siswa. 
Untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak hanya dengan merubah kurikulum atau menggalangkan dana yang cukup besar semata, tetapi diperlukannya senergisitas para pihak yang terkait dalam pendidikan dengan berkomitmen. 



Refrensi
Danim Sudarwan. 2006. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara
Gunawan W. Adi. 2007. Genius Learning Strategy. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Engkoswara. 2010. Adminsitrasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Faturrahman, dkk. 2012. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Kana’iaupuni. S, Ledward. B, Jensen. U. 2010. Culture-Based Education and Its Relationship to Student Outcomes. Honolulu: Kamehameha Schools Research & Evaluation. Diunduh tanggal 11 April 2013 dari www.ksbe.edu/spi
Maynard E. Ashley. 2005. Learning in Cultural Context Family, Peers, and School. Hawai’i: University of Hawai`i.
Merry S. Michael. 2010. Culture, Identity, and Islamic Schooling. United States of America: Palgrave Macmillan.
Prawironegoro Darsono. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan. Jakarta: Nusantara Consulting
Rosselli Monica dan Ardila Alfredo. 3003. The Impact of Culture and Education on Non-Verbal Neuropsychological measurement: A Critical Review, Brain and Cognition Vol. 52, pp. 326-333. Diunduh tanggal 10 April 2013 dari www.sciencedirect.com.
Sagala, Syaiful. 2005. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar. Bandung, CV Alfabeta

Yim, Samauel. 2009. The Challenges of Culture-based Learning. United States of America: University Press of America.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

RABIAL KANADA, DESA PERANGAI, KECAMATAN MERAPI SELATAN, KABUPATEN LAHAT, SUMSEL